Kerajaan Mataram Kuno : Sejarah, Raja, Kehidupan, Masa Kejayaan, Runtuhnya dan Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno

Posted on

Sejarah Kerajaan Mataram Kuno – Salah satu kerajaan yang bercorak hindu di Indonesia adalah kerajaan mataram kuno. Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu adalah nama kerajaan yang berdiri pada abad ke-8 lalu berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10.

Para raja kerajaan mataram kuno banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga candi bercorak hindu dan buddha. Kerajaan Medang mengalami keruntuhan pada awal abad ke-11.

Baca Juga : Kerajaan Mataram Islam

Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.

Sejarah Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Medang adalah kerajaan yang terletak di Jawa Tengah dengan intinya disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi pegunungan dan gunung seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung Lawu dan Pegunungan Sewu. Selain pegunungan dan gunung, daerah ini juga dialiri oleh banyak sungai seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo.

Pada awal berdirinya, pusat Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berada di daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian, pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Setelah itu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Lalu, pada zaman pemerintahan Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram. Pada masa pemerintahan Mpu Sindok, istana Medang pindah ke wilayah Jawa Timur sekarang.

Kerajaan Mataram Kuno merupakan kerajaan yang bercorak agraris. Ada 3 wangsa atau dinasti yang pernah menguasai Kerjaan Mataram Kuno diantaranya Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra dan Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya merupakan penganut agama Hindu beraliran Syiwa, Wangsa Syailendra merupakan penganut agama Budha, sedangkan Wangsa Isana merupakan Wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok.

Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya, Sanjaya merupakan pendiri Wangsa Sanjaya yang menganut agama Hindu. Setelah wafat, Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran yang kemudian berpindah agama buddha beraliran Mahayana. Saat itulah Wangsa Sayilendra berkuasa. Pada saat itu, baik agama Hindu dan Budha berkembang di Kerajaan Mataram Kuno. Bagi yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara dan bagi yang menganut agama Buddha berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.

Baca Juga : Kerajaan Banten

Wangsa Sanjaya kembali memerintah mataram setelah anak Raja Samaratungga, Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang menganut agama Hindu. Pernikahan ini membuat Rakai Pikatan menjadi Raja dan memulai kembali Wangsa Sanjaya. Selain itu, Rakai Pikatan juga berhasil menyingkirkan seorang Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa yang merupakan saudara Pramodawardhani. Balaputradewa lalu mengungsi ke Kerajaan Sriwijaya dan menjadi Raja disana.

Pemerintahan Wangsa Sanjaya berakhir pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Berakhirnya pemerintahan Sumba Dyah Wawa masih diperdebatkan. Ada teori yang mengatakan bahwa saat itu terjadi bencana alam yang membuat pusat Kerajaan Mataram hancur. Mpu Sindok lalu menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa sebagai raja dan memindahkan pusat Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dan membangun wangsa baru bernama Wangsa Isana.

Raja Raja Kerajaan Mataram Kuno

Berikut nama nama raja yang pernah memerintah kerajaan mataram kuno atau silsilah kerajaan mataram kuno:

Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717-746 M)

Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah yang berkuasa pada tahun 717-746 M. Namanya disebut dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih, serta teks naskah Carita Parahyangan. Prasasti Canggal juga menceritakan bahwa sebelum Ratu Sanjaya berkuasa sudah ada raja lain yang bernama Sanna yang berkuasa di Pulau Jawa. Setelah Sanna mangkat karena gugur ketika diserang musuh, keadaan Pulau Jawa menjadi kacau. Sanjaya anak dari Sannaha (saudara perempuan dari Raja Sanna) kemudian menjadi raja. Dengan gagah berani ia mengalahkan raja lain di sekitarnya, sehingga Pulau Jawa kembali damai.

Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746-784 M)

Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana adalah raja kedua Kerajaan Medang dalam periode Jawa Tengah. Ia berkuasa sekitar abad 770-an. Dalam Prasasti Kalasan abad 778 menyebutkan bahwa prasasti ini merupakan piagam peresmian tentang pembangunan sebuah candi bercorak Buddha yang bernama Tarabhavanam (Buana Tara) untuk memuja Dewi Tara. Pembangunan candi ini atas permintaan dari para guru raja Sailendra. Dalam isi prasasti itu Rakai Panangkaran dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “Permata Wangsa Sailendra”. Candi yang didirikan oleh Raja Rakai Panangkaran dikenal dengan Candi Kalasan.

Isi prasasti Mantyasih menyebut bahwa Sanjaya adalah raja pertama dari Kerajaan Medang, berarti Rahyangta i Medang dalam isi prasasti Wanua Tengah III adalah Sanjaya itu sendiri. Karena itu, bisa dikatakan bahwa Raja Rakai Panangkaran adalah keponakan dari Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Samudra Pasai

Sri Maharaja Rakai Panunggalan alias Dharanindra (784-803 M)

Dharanindra atau Indra adalah Maharaja dari Wangsa Sailendra yang memerintah Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Medang atau Mataram Kuno berkuasa sekitar abad 782 Masehi. Namanya dicatat dalam Prasasti Kelurak dengan gelar Sri Sanggrama Dhananjaya. Dharanindra diyakini berhasil menalukkan kerajaan lain disekitarnya dan berkuasa dari Semenanjung Malaya hingga daratan Indocina.

Nama Maharaja Dharanindra tercatat di dalam prasasti Kelurak tahun 782, isi prasasti tersebut memuji Dharanindra sebagai Wairiwarawiramardana yang berarti penumpas musuh-musuh perwira. Julukan ini sangat mirip dengan apa yang ada dalam isi prasasti Nalanda, yaitu Wirawairimathana dan isi dari prasasti Ligor B yaitu Sarwwarimadawimathana.

Sri Maharaja Rakai Warak alias Samaragrawira (803-827 M)

Sri Maharaja Rakai Warak adalah raja keempat Kerajaan Medang atau Kerajaan Mataram Kuno dan Maharaja dari Kerajaan Sriwijaya yang berkuasa pada sekitar tahun 802. Ada teori yang dikemukakan oleh sejarawan Slamet Muljana yang berpendapat bahwa, nama asli Raja Rakai Warak adalah Samaragrawir yaitu ayah dari Maharaja Balaputradewa, raja Kerajaan Sriwijaya. Nama Samaragrawira ada dalam prasasti Nalanda sebagai ayah dari Maharaja Balaputradewa dari Kerajaan Sriwijaya. Samaragrawira adalah putra dari seseorang raja yang dijuluki sebagai Wirawairimathana (penumpas musuh perwira) yaitu Dharanindra.

Sri Maharaja Rakai Garung alias Samaratungga (828-847 M)

Rakai Garung adalah raja kelima dari Kerajaan Mataram Kuno dan anggota dari Wangsa Sanjaya dan merupakan pengganti dari Raja Rakai Warak yang pemerintahannya antara abad 828 sampai abad 847. Nama Raja Rakai Garung dicatat dalam Prasasti Wanua Tengah III sebagai raja yang berkuasa sebelum Raja Rakai Pikatan.

Menurut sejarawan de Casparis, Raja Rakai Garung sama dengan Dang Karayan Partapan Pu Palar yang ada dalam isi dari Prasasti Gandasuli. Di prasasti ini, Dang Karayan yang mengadakan upacara sima. Nama Pu Palar juga dicatat dalam Prasasti Karangtengah, bersamaan dengan nama dari Pramodawardhani dan Samaratungga. Putri Pramodhawardhani dianggap sama dengan tokoh yang bernama Sri Kaluhunnan. Dengan demikian, de Casparis menganggap bahwa Putri Pramodawardhani adalah menantu dari Raja Rakai Garung yang menikah dengan Rakai Pikatan.

Baca Juga : Kerajaan Demak

Sri Maharaja Rakai Pikatan (847-855 M)

Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku adalah Silsilah Kerajaan Mataram Kuno raja keenam dari Kerajaan Medang pada periode Jawa Tengah yang berkuasa sekitar abad 840an-856. Prasasti Wantil dibuat pada tanggal 12 November 856. Prasasti ini mengatakan tentang pendirian bangunan suci Siwagrha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa. Berdasarkan ciri-ciri yang digambarkan dalam isi dari prasasti ini, Candi Siwa identifikasi sebagai salah satu candi utama pada komplek Candi Prambanan.

Rakai Pikatan alias Rakai Mamrati turun tahta menjadi seorang brahmana yang bergelar Sang Jatiningrat pada abad 856. Tahta Kerajaan Medang lalu diserahkan oleh putra bungsunya, bernama Dyah Lokapala alias Rakai Kayuwangi.

Sri Maharaja Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala (855-885 M)

Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala Sri Sayyawasanottunggadewaadalah raja ketujuh Kerajaan Medang pada periode Jawa Tengah atau Kerajaan Mataram Kuno yang berkuasa pada tahun 856-880an. Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu dari Raja Rakai Pikatan yang dilahirkan oleh permaisuri Pramodawardhani. Nama asli Rakai Kayuwangi adalah Dyah Lokapala (dalam prasasti Wantil) atau Mpu Lokapala (dalam prasasti Argapura).

Tidak diketahui secara pasti kapan Raja Rakai Kayuwangi turun takhta. Menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Raja Rakai Kayuwangi adalah Raja Rakai Watuhumalang. Sedangkan, putra mahkota pada masa Raja Rakai Kayuwangi memerintah bernama Rakai Hino Mpu Aku.

Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (894-898 M)

Sri Maharaja Rakai Watuhumalangadalah seorang raja kedelapan dari Kerajaan Medang pada periode Jawa Tengah yang pemerintahannya sekitar tahun 890-an. Maharaja Rakai Watuhumalang tidak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti atas nama dirinya. Sementara itu dalam prasasti Panunggalan bertanggal 19 November 896 mencatat adanya seorang tokoh yang bernama Sang Watuhumalang Mpu Teguh, yang tidak bergelar maharaja, melainkan hanya bergelar haji (raja bawahan).

Dyah Balitung merupakan menantu dari Rakai Watuhumalang, berarti Rakai Watuhumalang adalah putra atau menantu dari Rakai Pikatan yang dilahirkan oleh selir Rakai Watan Mpu Tamer. Dengan kata lain, Maharaja Rakai Watuhumalang adalah saudara tiri atau ipar dari Rakai Kayuwangi, yang merupakan raja sebelumnya.

Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-913 M)

Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu adalah seorang raja kesembilan dari Kerajaan Medang periode Jawa Tengah atau Kerajaan Mataram Kuno, yang pemerintahannya sekitar abad 899-911. Wilayah kerajaannya mencakup daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.

Baca Juga : Kerajaan Kediri

Pada masa kepemimpinan Maharaja Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak berada di Mataram, ataupun Mamrati, melainkan dipindahkan ke Poh Pitu yang diberi nama Yawapura. Hal ini dikarenakan istana Mamratipura rusak parah akibat dari perang saudara yang dilakukan Rakai Kayuwangi dan Rakai Gurunwangi. Sejarawan Boechari menyatakan bahwa kekuasaan Dyah Balitung berakhir karena pemberontakan oleh Mpu Daksa.

Sri Maharaja Mpu Daksa

Mpu Daksa adalah Silsilah Kerajaan Mataram Kuno raja kesepuluh dari Kerajaan Medang periode Jawa Tengah atau Kerajaan Mataram Kuno yang berkuasa sekitar tahun 913-919, Dengan bergelar Sri Maharaja Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya Uttunggawijaya. Mpu Daksa menjadi raja menggantikan Maharaja Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan dari kata Daksa yang sering disebutkan namanya bersamaan dengan istri dari Dyah Balitung dalam catatan beberapa prasasti.

Prasasti paling tua atas nama Mpu Daksa sebagai seorang maharaja yang telah ditemukan adalah prasasti Timbangan Wungkal yang bertanggal 913 Masehi. Berisi tentang pengaduan dari Dyah Dewa, Dyah Babru, dan Dyah Wijaya yang dulunya diberikan hak istimewa dari Maharaja Rakai Pikatan, namun kemudian dipermasalahkan oleh Dang Acarya Bhutti yang memiliki jabatan sebagai Sang Pamgat Mangulihi.

Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong

Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjana Sanmatanuraga Uttunggadewa adalah raja kesebelas dari Kerajaan Medang periode Jawa Tengah atau Kerajaan Mataram Kuno, yang berkuasa sekitar abad 919-924. Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodong menikahinya sehingga diberi gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa.

Sejarawan Boechari menyatakan pendapat bahwa Dyah Wawa melakukan sebuah kudeta terhadap Maharaja Dyah Tulodong dan Mpu Ketuwijaya. Ada asumsi yang mengatakan, bahwa kudeta ini dibantu oleh Mpu Sindok menjabat sebagai Rakai Halu, dan kemudian jabatannya naik menjadi Rakai Hino.

Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa

Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga adalah raja keduabelas dan raja terakhir dari Kerajaan Medang dalam periode Jawa Tengah atau Kerajaan Mataram Kuno, yang berkuasa sekitar abad 924-929. Dyah Wawa adalah sepupu dari Dyah Bhumijaya, putra Maharaja Rakai Kayuwangi. Oleh karena itu, Dyah Wawa tidak berhak atas takhta Maharaja Dyah Tulodhong. Sejarawan Boechari berasumsi bahwa Dyah Wawa melaksanakan kudeta terhadap Maharaja Dyah Tulodhong dari Kerajaan Medang.

Peninggalan bukti sejarah atas nama Dyah Wawa adalah prasasti Sangguran bertanggal 2 Agustus 928 tentang penetapan dari desa Sangguran sebagai sima swatantra atau daerah bebas pajak agar penduduk dari desa tersebut merawat bangunan suci di daerah Kajurugusalyan.

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Majapahit

Sri Maharaja Mpu Sindok (awal periode Jawa Timur)

Mpu Sindok adalah raja ke-13 dan raja pertama dari Kerajaan Medang periode Jawa Timur yang berkuasa sekitar tahun 929-947, Dengan gelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa. Mpu Sindok dikatakan sebagai pendiri dari dinasti baru yang bernama Wangsa Isana.

Mpu Sindok pada masa kekuasaan dari Dyah Tulodhong diberi gelar sebagai Rakai Mahamantri Halu, sedangkan pada masa kekuasaan dari Dyah Wawa, naik jabatan menjadi Rakai Mahamantri Hino. Kedua jabatan atau gelar ini merupakan jabatan tingkat tinggi yang hanya dapat diberikan kepada keluarga raja. Oleh karena itu, Mpu Sindok adalah seorang bangsawan kelas tinggi dalam Kerajaan Medang.

Maharaja Mpu Sindok adalah raja pertama dari Kerajaan Medang periode Jawa Timur. Sedangkan yang bergelar Rakai Mapatih Hino adalah Mpu Sahasra. Pemerintahan dari Maharaja Mpu Sindok banyak meninggalkan bukti sejarah dalam bentuk prasasti-prasasti.

Sri Maharaja Lokapala (suami Sri Isanatunggawijaya)

Sri Isyana Tunggawijaya adalah raja ke-14 dan ratu perempuan dari Kerajaan Medang yang berkuasa sejak abad 947. Ia berkuasa berdampingan dengan suaminya yang bernama Sri Lokapala. Namanya diambil menjadi nama dari Wangsa Isyana, yaitu sebuah dinasti yang dibangun oleh ayahnya Mpu Sindok yang pemerintahannya di Jawa Timur.

Ratu Sri Isyana Tunggawijaya adalah putri dari Maharaja Mpu Sindok. Tidak banyak ditemukan peninggalan sejarah tentang masa pemerintahannya. Suaminya yang bernama Sri Lokapala adalah bangsawan dari Kerajaan di Bali. Peninggalan sejarah atas nama Sri Lokapala adalah prasasti Gedangan abad 950 yang menyebutkan tentang anugerah pemberian desa Bungur Lor dan desa Asana kepada para pendeta Buddha di Bodhinimba. Tidak diketahui secara pasti kapan pemerintahan Sri Lokapala dan Sri Isyana Tunggawijaya berakhir.

Sri Maharaja Makuthawangsawardhana

Sri Makutawangsawardhana adalah raja ke-15 dari Kerajaan Medang yang berkuasa sebelum tahun 990-an. Masa pemerintahan dari Makutawangsawardhana tidak diketahui secara pasti. Namanya ada dalam prasasti Pucangan sebagai kakek dari Maharaja Airlangga. Disebut bahwa, Maharaja Makutawangsawardhana adalah putra dari pasangan Sri Lokapala dan Ratu Sri Isana Tunggawijaya putri dari Maharaja Mpu Sindok. Prasasti Pucangan juga mengatakan bahwa Makutawangsawardhana mempunyai seorang putri bernama Mahendradatta, yang merupakan ibu dari Maharaja Airlangga.

Baca Juga : Kerajaan Tarumanegara

Sri Maharaja Dharmawangsa Teguh (berakhirnya Kerajaan Medang)

Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa adalah Silsilah kerajaan mataram kuno ke-16 dan raja terakhir Kerajaan Medang yang pemerintahannya pada abad 991-1007 atau 1016. Diceritakan bahwa Dharmawangsa menikahkan putrinya dengan pangeran Airlangga dari Kerajaan Bali. Di tengah pesta pernikahan, tiba-tiba istana Kerajaan Medang diserang oleh pasukan Raja Wurawari dari Kerajaan Lwaram dengan bantuan dari tentara Kerajaan Sriwijaya. Istana Maharaja Dharmawangsa yang berada di kota Wwatan hangus di bakar.

Maharaja Dharmawangsa tewas dalam serangan tersebut, sedangkan Pangeran Airlangga berhasil lolos dari kematian. Tiga tahun kemudian Pangeran Airlangga mendirikan istana baru di daerah Wawatan Mas dan menjadi raja sebagai penerus takhta dari mertuanya.

Kehidupan Politik Kerajaan Mataram Kuno

Untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya, Kerajaan Mataram Kuno menjalin kerjasama dengan kerajaan lain seperti kerajaan Sriwijaya, Siam dan India. Selain itu, Mataram Kuno juga menggunakan sistem perkawinan politik, seperti pada masa pemerintahan Samaratungga yang berusaha menyatukan kembali Wangsa Sailendra dan Wangsa Sanjaya dengan cara menikahkan anaknya yang bernama Pramodyawardhani (Wangsa Sailendra) dengan Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya). Wangsa Sanjaya merupakan penguasa awal di Kerajaan Mataram Kuno, sedangkan Wangsa Sailendra muncul setelahnya (akhir abad ke-8 M). Dengan adanya perkawinan politik tersebut, maka terjalin kerukunan beragama yang sangat erat antara Hindu (Wangsa Sanjaya) dan Buddha (Wangsa Sailendra).

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Mataram Kuno

Pusat kerajaan Mataram Kuno berada di Lembah sungai Progo, meliputi daratan Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Daerah tersebut sangat subur sehingga rakyat menggantungkan kehidupannya pada hasil pertanian. Hal inilah yang menyebabkan banyak kerajaan dan daerah lain saling mengekspor dan mengimpor hasil pertaniannya. Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi.

Usaha perdagangan juga mulai mendapat perhatian pada masa pemerintahan Raja Balitung. Raja Balitung memerintahkan membuat pusat perdagangan dan penduduk di sekitar aliran Sungai Bengawan Solo diperintahkan untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas perdagangan dengan imbalan penduduk desa tersebut dibebaskan dari pungutan pajak.

Kehidupan Sosial Dan Budaya Kerajaan Mataram Kuno

Meski dalam praktik keagamaan, kerajaan mataram kuno terdiri dari agama Hindu dan Buddha, kehidupan sosial mereka sangat baik. Masyarakat tetap hidup rukun dan saling bertoleransi. Salah satu bukti sikap tersebut adalah saat membangun candi borobudur. Selain toleransi beragama, kehidupan sosial kerajaan mataram kuno juga terbukti dengan adanya kepatuhan hukum oleh semua pihak.

Sedangkan, kehidupan kebudayaan kerajaan mataram kuno sangat tinggi dibuktikan dengan banyaknya peninggalan prasasti dan juga candi.

Baca Juga : Kerajaan Singasari

Masa Kejayaan Kerajaan Mataram Kuno

Puncak keemasan atau kejayaan kerajaan mataram kuno terjadi pada masa pemerintahan Raja Balitung. Pada masa pemerintahannya, daerah sebelah timur mataram berhasil ditaklukan sehingga daerah kekuasaan mataram semakin luas meliputi Bagelen, Jawa Tengah hingga Malang, Jawa Timur.

Penyebab kejayaan kerajaan Mataram Kuno, diantaranya yaitu:

  • Naik tahtanya Sanjaya yang sangat ahli dalam peperangan.
  • Pembangunan waduk Hujung Galuh di Waringin Sapta (Waringin Pitu) untuk mengatur aliran Sungai Berangas, sehingga banyak kapal dagang dari Benggala, Sri Lanka, Chola, Champa, Burma dan lain sebagainya datang ke pelabuhan waduk tersebut.
  • Pindahnya kekuasaan kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yang didasari oleh:
    a. Adanya sungai besar, seperti Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang sangat memudahkan lalu lintas perdagangan.
    b. Adanya dataran rendah yang luas sehingga memungkinkan penanaman padi dalam jumlah besar.
    c. Lokasi Jawa Timur yang berdekatan dengan jalan perdagangan utama pada saat itu, yakni jalur perdagangan rempah dari Maluku ke Malaka.

Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno

Keruntuhan Kerajaan Mataram Kuno terjadi karena dipicu permusuhan antara Jawa dan Sumatera yang dimulai saat pengusiran Balaputradewa oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa yang kemudian menjadi Raja Sriwijaya menyimpan dendam pada Rakai Pikatan. Perselisihan keduanya, berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi berikutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.

Permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut hingga saat Wangsa Isana berkuasa. Pada waktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerang, pertempuran ini terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) dan dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.

Kerajaan Mataram Kuno runtuh pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh yang merupakan cicit Mpu Sindok. Pada saat itu, perselisihan antara Mataram Kuno dan Sriwijaya sedang memanas. Tercatat Sriwijaya pernah menyerang Mataram Kuno tapi pertempuran tersebut dimenangkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa juga pernah mengirim serangan ke ibukota Sriwijaya. Pada tahun 1006/1016 Dharmawangsa yang saat itu tengah mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wawatan diserang oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diduga sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa penyerangan tersebut, Dharmawangsa tewas.

Baca Juga : Kerajaan Kutai

Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno

Ada banyak peninggalan bukti sejarah kerajaan mataram kunoseperti dalam bentuk candi dan juga prasasti. Berikut beberapa candi dan prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno:

Candi Peninggalan Mataram Kuno

Karena kerajaan mataram kuno memiliki 2 dinasti besar yang masih berhubungan yaitu dinasti Sanjaya dan dinasti Sailendra, sehingga candi peninggalan kerajaan mataram kuno ini ada yang bercorak Hindu dan ada yang bercorak Budha.

Candi Bercorak Hindu Kerajaan Mataram Kuno diantaranya Candi Gedong Songo, kompleks Candi Dieng, Candi Siwa, Candi Brahma, Candi Wisnu, Candi Sukuh, Candi Boko dan kompleks Candi Prambanan yang berlatar belakang Hindu.

Candi Bercorak Buddha Kerajaan Mataram Kuno diantaranya Candi Kalasan, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu, dan Candi Plaosan, Candi Sojiwan, Candi Pawon, Candi Sari.

Prasasti Peninggalan Mataram Kuno

Berikut prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno:

Prasasti Canggal
Prasasti ini dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dengan berangka tahun berbentuk Candrasengkala berbunyi Srutiindriyarasa atau tahun 654 Saka 732 M berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Isi pokok Prasasti Canggal yaitu pendirian sebuah lingga di Bukit Stirangga untuk keselamatan rakyatnya.

Prasasti Balitung
Dalam prasasti yang berangka tahun 907 M disebutkan nama keluarga raja-raja keturunan Sanjaya memuat nama Panangkaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada saat itu Dinasti Sanjaya dan Sailendra sama-sama berperan di Jawa Tengah. Dinasti Sanjaya dibagian utara dengan mendirikan candi Hindu seperti Gedong Sanga di Ungaran, Candi Dieng di Dataran Tinggi Dieng. Sedangkan, Dinasti Sailendra dibagian selatan dengan mendirikan candi Buddha, seperti Borobudur, Mendut, dan Kalasan.

Prasasti Kelurak
Prasasti kelurak berada di daerah Prambanan berangka tahun 782 disebutkan tentang pembuatan Arca Boddhisatwa Manjusri sebagai perwujudan Buddha, Dharma, dan Sanggha yang bisa disamakan dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa yang mencangkup Triratna atau Candi Lumbung yang terletak di sebelah utara Prambanan. Vajradhatu (candi Sewu), dan Trimurti (candi Roro Jongrang). Raja yang memerintah pada waktu itu adalah Indra. Pengganti Indra yang terkenal yaitu Samaratungga yang dalam pemerintahannya mendirikan Candi Borobudur tahun 824.

Prasasti Kedu atau Prasasti Mantyasih
Prasasti kedu dibuat oleh Raja Balitung. Prasasti ini menyebutkan bahwa sanjaya adalah raja pertama (Wangsakarta) dengan ibu kota kerajaannya di Medangri Poh Pitu.

Baca Juga : Sejarah Organisasi Budi Utomo

Prasasti Karang Tengah
Prasasti Karang Tengah dikeluarkan oleh Samaratungga yang berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau 746 Saka (824 M). Dalam prasasti ini disebutkan nama Samaratungga dan putrinya, Pramodhawardhani. Selain itu, disebutkan juga pendirian bangunan Jimalaya atau Candi Prambanan oleh Pramodhawardhani.

Prasasti Nalanda (860 M)
Prasasti nalanda menceritakan pendirian biara di Nalanda pada masa pemerintahan Raja Dewapaladewa (Kerajaan Pala, India).

Prasasti Purworejo (900 M)
Prasasti purworejo menceritakan Raja Belitung yang memerintahkan pendirian pusat-pusat perdagangan.

Prasasti Wonogiri (903 M)
Prasasti wonogiri menceritakan tentang dibebaskannya desa di daerah pinggiran sungai Bengawan Solo jika penduduk setempat mampu menjamin kelancaran lalu lintas di sungai tersebut.

Demikian pembahasan tentang sejarah berdirinya kerajaan mataram kuno, silsilah raja, kehidupan politik, kehidupan ekonomi, kehidupan sosial budaya, masa kejayaan, runtuhnya dan peninggalan atau bukti sejarah kerajaan mataram kuno secara lengkap. Semoga bermanfaat